Indonesia, sebagai negara megabiodiversity, terus menghadapi ancaman serius dari praktik ilegal Penyelundupan Satwa Langka ke luar negeri. Meskipun pengawasan di pelabuhan resmi diperketat, sindikat kejahatan kini mengalihkan operasinya ke “pelabuhan tikus” atau jalur-jalur tidak resmi dengan menggunakan modus operandi yang semakin canggih untuk menghindari deteksi petugas. Kejahatan transnasional ini tidak hanya merugikan negara secara ekonomi, tetapi juga mengancam kelestarian spesies endemik yang populasinya sudah sangat rentan.
Penyelundupan Satwa Langka adalah mata rantai dari perdagangan ilegal satwa liar global yang didorong oleh permintaan tinggi dari pasar gelap di Asia dan Eropa untuk hewan peliharaan eksotis, bahan obat tradisional, atau koleksi pribadi. Modus yang paling sering teridentifikasi saat ini adalah penggunaan kapal-kapal nelayan kecil yang berlayar dari pelabuhan-pelabuhan tidak resmi (jetty atau dermaga kecil) di pesisir Sumatera dan Kalimantan. Hewan-hewan tersebut, mulai dari burung Kakaktua Raja, Trenggiling, hingga bayi Orangutan, disembunyikan dalam kompartemen rahasia di lambung kapal atau dicampur dengan muatan hasil laut yang sah.
Pengungkapan dan Modus Baru
Salah satu pengungkapan terbesar terkait Penyelundupan Satwa Langka terjadi pada Jumat, 29 Agustus 2025, di perairan Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau. Polisi Air dan Udara (Polairud) Polda Kepulauan Riau berhasil mencegat sebuah kapal motor tanpa nama yang berlayar menuju perbatasan. Dalam operasi itu, petugas menyita 50 ekor bayi penyu hijau yang disembunyikan di dalam kotak styrofoam berlapis es dan 10 ekor Kukang yang dibius dan dijejalkan ke dalam botol plastik. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau menyebutkan bahwa satwa-satwa tersebut diperkirakan akan dijual ke Malaysia dan Singapura dengan nilai transaksi mencapai Rp 500 Juta.
Modus baru yang terungkap juga melibatkan pengemasan yang brutal. Untuk satwa berukuran kecil seperti burung kakatua atau Jalak Bali, pelaku kerap membungkusnya dalam tabung PVC yang dilakban rapat dan ditempatkan di dalam koper ganda atau alat elektronik bekas. Proses pengemasan yang minim udara dan air ini menyebabkan tingkat kematian satwa yang diselundupkan mencapai angka yang sangat tinggi, seringkali melebihi 50% sebelum mencapai tujuan.
Upaya Penindakan dan Konservasi
Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Badan Karantina Pertanian terus memperkuat koordinasi dengan aparat kepolisian dan Bea Cukai. Peningkatan pengawasan dilakukan dengan mengerahkan unit patroli gabungan di wilayah pesisir yang rawan. Selain itu, Polri dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) juga bekerja sama melacak aliran dana sindikat ini, yang seringkali merupakan jaringan yang sama dengan penyelundupan narkoba.
Untuk mendukung penindakan, hukuman terhadap pelaku kejahatan satwa langka diperberat sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Hukuman maksimalnya bisa mencapai lima tahun penjara dan denda Rp 100 Juta. Upaya konservasi dan penindakan ini adalah kunci untuk memastikan Indonesia dapat melindungi kekayaan alamnya dari ancaman Penyelundupan Satwa Langka yang semakin terorganisir.
